“Saya melakukan orgasme pertama kali saat berumur 17 tahun. Ketika itu saya sedang duduk di bangku sekolah, tiba-tiba saya merasa ada sesuatu yang hangat dan merangsang bagian kewanitaan saya. Rasanya seperti ada seseorang yang meremas bagian itu dan saya pun mulai terangsang,” ujar wanita itu.
I had my first orgasm at the age of 17. I was sitting at my desk at school when all of a sudden, I felt a warm, pulsing feeling in my genital area. My vagina flared up and I couldn’t think straight. It was like someone had squeegeed my thoughts away. I was like, whoa, what’s that? It felt really erotic and good, but I was also freaked out, scared, and confused. After that, it started happening a few times a day. I searched online for spontaneous orgasms, but all I found was weird porn.
It kept getting worse. During my second semester of senior year, I counted orgasms on a sheet of paper. I was having 100 and 200 a day. I ran to hide in the bathroom between classes to relieve the pressure.
Ia mengatakan bahwa rangsangan itu membuatnya nyaman dan senang tapi juga takut dan bingung. Rangsangan orgasme spontan itu pun dialaminya beberapa kali dalam sehari dan lama kelamaan semakin parah. “Menjelang semester ke-2 saya kuliah, saya coba menghitung dan mencatat di selembar kertas berapa kali orgasme yang saya lakukan. Dan ternyata saya melakukannya 100 hingga 200 kali setiap harinya. Ketika rangsangan itu muncul, saya selalu lari dan sembunyi di kamar mandi untuk melakukan hal itu dan menenangkan diri,” tuturnya.
Orgasme yang ia rasakan membuatnya sangat depresi dan tidak bisa konsentrasi. “Saya tidak tahu apa yang salah dengan saya. Saya sering menangis, sembunyi di kamar mandi dan menjadi sangat protektif terhadap privasi sendiri,” imbuhnya. Ketika ia mencoba menjelaskan pada orang lain tentang kondisinya, mereka justru mengolok-oloknya dan mengatakan, ‘Kamu sangat beruntung, saya mau kencan denganmu’. Bahkan seorang psikiater di kampus menganggapnya gila. Akhirnya ketika tingkat 2, ia memutuskan membeli alat vibrator dan mengonsumsi obat penenang.
Suatu hari pada tahun 2003, sang perempuan menemukan sebuah artikel dari the Boston Globe tentang penemuan sebuah penyakit yang disebut dengan Persistent Sexual Arousal Syndrome (PSAS). “Ketika saya membacanya, saya menangis histeris karena gejala yang disebutkan sama dengan yang saya alami. Saya pun langsung membuat janji bertemu dengan institusi yang memuat artikel itu,” tuturnya. Awalnya para dokter menganggapnya mengidap penyakit Delusional Hypochondriac atau halusinasi berlebihan. Namun setelah dilakukan tes, ternyata ia memang benar-benar mengidap PSAS atau PGAD.
Penyakit ini sering disebut juga sebagai penyakit hipersensitif pada bagian kemaluan. Ada yang mengatakan bahwa penyakit ini diakibatkan karena infeksi jamur pada organ kewanitaan, ada juga yang mengatakan penyakit ini berhubungan dengan masalah psikologi, namun belum ada bukti cukup tentang hal itu. “Memiliki penyakit ini bagaikan memiliki detak jantung tambahan di bagian bawah. Dorongan dari bawah itu akan naik ke otak dan mengganggu pikiran. Mungkin ini yang dirasakan pria-pria saat terjadi ereksi,” ujarnya.
Tak hanya menderita karena penyakitnya itu, sang gadis pun harus menanggung beban mental karena orang tuanya tidak mau mengerti dengan keadaannya. “Ibu saya sangat kolot. Ia paling tidak suka mendengar kata orgasme, bahkan ia menganggap saya kotor karena menemukan beberapa vibrator di kamar saya. Ia tidak mau mengerti keadaan saya,” jelasnya.
PSAS adalah penyakit gangguan seksual yang sangat kompleks. Ia tidak hanya muncul ketika menonton film porno atau melihat sesuatu yang merangsang. Tapi ia bisa muncul kapan saja, bahkan dalam kondisi biasa-biasa saja. “Melihat film porno tidak membuat saya terangsang, tapi ketika seseorang menepuk bahu, hasrat itu justru muncul. Saya tidak bisa memprediksi kapan hasrat itu muncul. Untuk mengatasinya, saya menghindari olahraga dan menambah berat badan karena kata orang bisa mengurangi hasrat seksual,” ujarnya.
“Saat ini saya berusia 24 tahun dan sudah banyak belajar mengendalikan penyakit ini. Saya menemukan bahwa olahraga joging dan dansa bisa mengendalikan saya lebih baik. Saya punya kekasih tapi saya belum pernah berhubungan seks dengannya selama 6 tahun berpacaran. Meskipun kondisi saya seperti ini, tapi dia sangat sabar dan selalu menenangkan saya,” tuturnya.
Penyakit PSAS saat ini masih diteliti dan diganti namanya menjadi Persistent Genital Arousal Disorder (PGAD) untuk menghindari stigma miring tentang penyakit ini. Secara resmi penyakit ini akan dipublikasikan dalam the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders pada tahun 2012 dan studi pengobatannya pun masih diteliti hingga saat ini.
“Penyakit ini muncul tiba-tiba dalam hidup saya dan berharap bisa hilang dengan sendirinya pula. Meskipun saya tidak yakin hal itu bisa terjadi, tapi saya akan berusaha melakukan apa saja untuk mengatasi penyakit ini,” ujar sang gadis yang tertunda 2 tahun kuliahnya karena penyakit tersebut. (Boing-Boing-detik)
Sumber: http://ruanghati.com/2009/11/16/astaga-cewek-ini-bisa-orgasme-100-200-kali-sehari-kenikmatan-yang-tidak-nyaman/
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar